Seseorang menaruh hati di jendela kamarku. Waktu itu, pagi belum pergi betul. Sinar matahari jatuh ke dalam kamarku. Mulanya sedikit, tapi lama kelamaan, sekawanan sinar itu berebut masuk, menerobos kaca jendela, lalu jatuh ke karpet biru, ke selimut, ke bantal penyangga kepalaku, ke Bergson-boneka anjing coklat. Dan sialnya, sebaran sinar itu juga jatuh ke wajahku. Tidur pun terputus.
Ada hati di jendela kamarku. Kutemukan saat rasa ingin tahu menyergapku. Sinar di pagi yang belum pergi betul itu terlihat lain. Lebih teduh. Bergerak, kudekati jendela. Ada hati di sana. Di luar jendela kamarku. Seseorang menaruhnya sedemikian rupa, supaya hati itu tidak terjatuh.
Siapa yang menaruhnya di situ? Hati di jendela kamarku…
“Oh, kau terlambat bangun pagi ini rupanya. Kalau kau terjaga saat sinar matahari belum sebanyak ini, kau mungkin akan mendapatinya di sana, ya… seseorang yang menaruh hati itu di jendela kamarmu,” tutur laki-laki tua pemilik kebun, tak jauh dari rumahku.
Aku berpapasan dengan laki-laki pemilik kebun saat menyusuri setapak, dengan memegang erat hati itu. Wajahku yang seperti mencari sesuatu membuat laki-laki tua itu berhenti sejenak dari pekerjaannya, menyiangi rumput, dan menyapaku.
“Kau masih bisa menemukan orang yang menaruh hati di jendela kamarmu itu, ikuti jalan setapak ini hingga ke ujungnya, dari situ kau akan temukan rumah kecil, tidak, jangan takut tersesat, rumah dengan tujuh pohon pinus itulah tempat ia tinggal,” ucap laki-laki tua itu.
sseorang.? Hati di jendela kamar.? Tujuh pohon pinus.?
Kuikuti saran laki-laki tua pemilik kebun. Berjalan hingga ujung jalan setapak menuju rumah dengan tujuh pohon pinus.
Itu dia. Aroma rumput basah menyambutku. Tak lama kemudian, harum pinus menyergap indera penciumanku. Harum itu makin kuat saat sosoknya bergerak mendekatiku. seseorang dengan harum hutan pinus …
“Ah, sampai juga kau ke mari,” ujarnya, tersenyum.
“Apakah kau yang meletakkannya? Hati ini, aku ingin mengembalikannya,” jawabku, membalas senyumnya.
“Mengapa kau kembalikan?,” tanyanya.
“Hati ini ada di jendela kamarku saat pagi belum pergi betul, bukan milikku, kupikir seseorang pasti mencarinya,” kataku.
“Tidak. Aku sengaja meletakkannya di situ. Hati itu untukmu. Apakah kau tidak menyukainya?”.
Aku terdiam, dia dengan harum hutan pinus itu seharusnya tak bertanya seperti itu. Tahukah ia, saat pertama kali kulihat ada hati di jendela kamarku, dan seseorang menaruhnya di sana, yang tergambar dalam pikirku hanyalah… aku ingin dia dengan harum hutan pinus itulah yang melakukannya. Hanya ia dan bukan yang lainnya.
“Mengapa terdiam. Kau menyukainya?” ia mengganti pertanyaannya.
Ada selarik senyum di wajahku.
“Ya,” jawabku, singkat.
“Aku akan melakukannya setiap hari. Menaruh hati di jendela kamarmu. Kalau kau suka, tolong jangan kembalikan hati ini lagi padaku, aku sengaja melakukannya…
ia memberi jeda pada kalimatnya,
untukmu…. “.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment